Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Sebagai sebuah mabda (ideologi), orang sering mempertanyakan sejauh mana
Islam terbukti berhasil diterapkan di dunia. Hal ini karena dewasa ini umat
manusia sudah sedemikian lama dilupakan dari penerapan syari’at Islam dalam
kehidupan. Kalaupun ada sekelompok orang yang bercita-cita mengembalikan
kehidupan Islam, maka dari kalangan yang skeptis akan muncul pertanyaan, “Islam
model negara mana?” – apakah seperti Saudi, Pakistan, Malaysia, Iran, atau
bahkan Taliban? Atau seperti di negara Utsmani atau Abbasi di masa lalu? Dan
ketika bicara masa lalu, maka tak jarang muncul suara miring, seakan-akan masa
lalu adalah masa kegelapan, yang tak perlu kita kembali lagi.
Hal ini ditunjang dari buku-buku sejarah, termasuk yang ditulis oleh
sejarawan muslim yang hidup dekat dengan masa kejadian, semacam Tarikhul Umam
wal Mulk (At-Thabari, wafat 839 M), Muruj Az Zahab (Al Mas’udi, wafat 956 M)
hingga Tarikhul Khulafa (Imam Suyuthi, wafat 1505 M). Buku-buku ini umumnya
didominasi kisah-kisah politik, misalnya intrik-intrik di tingkat elit,
perebutan kekuasaan atau peperangan yang keji, yang mungkin sebagai muslim,
tidak semua kisah itu pantas kita contohi. Dan memang sejarah bukan dalil
syar’i.
Memang politik memiliki pengaruh yang sangat signifikan pada
peristiwa-peristiwa yang lain. Namun satu hal kita perlu heran: Andaikata benar
sejarah perpolitikan di era Khilafah Islam begitu kelam, bagaimana kita bisa
menjelaskan capaian-capaian peradaban yang begitu mengagumkan? Dalam tulisan
singkat ini, kita secara sepintas akan melihat bukti-bukti historis yang
menunjukkan kemajuan peradaban Islam. Bukti-bukti ini akan mengajak kita
berpikir: jangan-jangan, para penulis sejarah – termasuk dari kalangan muslim
sendiri, mengalami bias dalam merekam peristiwa-peristiwa politik.
Mereka bisa mengalami bias kepentingan, karena seorang penguasa politik,
umumnya ingin ditulis dalam sejarah sebagai lebih baik dari pendahulunya. Bias
juga bisa muncul akibat kesulitan menseleksi sumber data – yang dalam ilmu
sejarah adalah periwayatan. Semakin jauh jarak waktu antara peristiwa dan
sejarawan, semakin luas daerah yang akan ditulis, dan semakin banyak orang yang
terlibat, akan semakin sulit untuk dipilih mana riwayat yang akurat dan mana
yang tidak. Jangankan menulis seluruh peristiwa di era Khilafah yang begitu
luas wilayahnya, di zaman modern saja, yang alat-alat komunikasi juga sangat
canggih, berita tentang seorang selebriti saja bisa sangat bias.
Kosmopolitan
Buku-buku sejarah peradaban Islam yang paling objektifpun, semacam buku
“Allah Sonne ueber dem Abendland” (= Matahari Allah di atas Dunia Barat) karya
sejarawan dari Jerman Dr. Sigrid Hunke lebih sering menyebut “bangsa Arab” pada
rakyat Negara Khilafah. Meski Hunke melukiskan dengan sangat rinci, bahkan
menyebutkan banyak nama tokoh-tokoh ilmuwan yang secara etnis non Arab (seperti
dari Persi, Turki atau Berber), atau bahkan non muslim, namun dia mengalami
kesulitan untuk mengidentifikasi “rakyat Negara Khilafah”, sehingga menyebutnya
“bangsa Arab”.
Sesungguhnyalah, potensi bahasa Arab dan beberapa kebiasaan Arab (yang
dimubahkan Rasul) sangat berperan dalam membawa ummat Islam ke zaman keemasan
budayanya. Bahasa Arab yang dijadikan bahasa Al-Qur’an berkembang menjadi
bahasa ijtihad, bahasa ilmiah dan bahasa komunikasi internasional antar etnis
dan antar pemeluk agama yang berbeda-beda di dalam daulah Islamiyah.
Karena itu, jika kemudian –termasuk di tulisan ini- ditulis secara
bergantian: “rakyat Khilafah”, “bangsa Arab” atau “ilmuwan Islam”, yang
dimaksud adalah sama, yaitu warga Negara Daulah Khilafah Islamiyah, walaupun
dari etnis non Arab, atau bahkan bestatus “dhimmy” (warga non muslim). Mereka
semua hidup dan diatur di bawah suatu sistem Islam, yang dibangun di atas
landasan aqidah Islam. Akibatnya, mereka semua bekerja demi kemuliaan Islam dan
kaum muslimin secara keseluruhan. Tentu saja mayoritas dari mereka adalah
muslim, namun yang menarik manfaat sistem Islam tidak hanya muslim. Islam
didesain untuk menjadi rahmat seluruh alam.
Hal seperti ini sebenarnya mirip dengan kalau kita katakan “bangsa
Amerika”, meski kita tahu, di sana terdiri dari berbagai etnis, ada petinju
Muhammad Ali yang muslim dan negro, ada Albert Einstein yang keturunan Jerman
dan Yahudi, ada Bruce Lee yang keturuan China, selain mayoritas keturunan
Anglo-Saxon yang beragama Protestan. Mereka semua disatukan dan diatur oleh
suatu sistem yang berdiri di atas suatu ideologi Amerika yaitu ideologi
kapitalisme yang sekuler dan liberal.
Meski demikian, analogi di atas hanya untuk mempermudah pemahaman,
karena realitasnya, semangat kosmopolitan di dalam Islam tidak bisa ditandingi
dengan budaya atau ideologi manapun.
Secuplik Karya-karya Besar para Ilmuwan
Kadang-kadang menjelang Peringatan Hari Besar Islam, semacam Isra’
Mi’raj atau 1 Muharram, umat Islam menginginkan agar kemajuan peradaban Islam
diungkap kembali. Menjelang Ramadhan, beberapa pihak juga gemar mengadakan
seminar yang terkait astronomi, namun hanya terbatas soal hisab dan rukyatul
hilal. Padahal astronomi Islam tidaklah sebatas jadwal sholat, arah qiblat,
hisab dan rukyat, namun lebih jauh lagi menyangkut banyak aspek sains,
teknologi dan industri yang dibutuhkan dalam melayani urusan umat, serta dalam
dakwah dan jihad fi sabilillah. Karena itu sebagai ilustrasi bagaimana
kehidupan para ilmuwan di bawah naungan syari’ah di masa itu, bisa kita ikuti
kisah menarik berikut, yang dikutip dari buku “Allah Sonne ueber dem Abendland”
karya Sigrid Hunke.
Musa bin Syakir, diketemukan tewas ketika sedang melakukan aktivitasnya
sebagai penyamun. Dia meninggalkan tiga putera remaja. Berita kematiannya
sampai ke Al-Makmun saat ia sedang meninjau Asia kecil. Segera dia memberi
perintah ke pejabat di Bagdad agar mengurus anak-anak Musa (banu Musa), dan di
tiap suratnya tak pernah lupa ia menanyakan keadaan anak-anak asuhnya itu.
Banu Musa diserahkan ke Yahya bin Abi Mansur untuk dididik. Yahya adalah
astronom khalifah dan ketua Akademi Ilmu Pengetahuan (Baitul Hikmah) yang
didirikan Al-Mansur. Saat itu di sana Al-Chawarizmi sedang menerjemahkan
Siddhanta, memperbaiki tabel Ptolomeus serta menulis bukunya yang monumental,
buku tentang ilmu hitung dan persamaan-persamaan matematika: Aljabarii.
Di sinilah, langsung di mata air ilmu, di antara ribuan buku-buku,
peralatan yang jarang ditemui, dan di antara percakapan dan debat antar ilmuwan
segala bidang, tumbuh dewasalah tiga remaja berbakat itu. Maka tak heran, bila
di kemudian hari, tiga putera penyamun padang pasir Musa bin Syakir serta anak
asuh amirul mukminin tumbuh menjadi mercu suar ilmu pengetahuan.
Muhammad bin Musa, yang tertua, adalah yang paling berpengaruh di antara
mereka. Seorang lelaki yang gagah, negarawan yang disegani, dan menjadi
kepercayaan khalifah.
Al-Makmun telah memerintahkan untuk membuatkan para astronomnya sebuah
observatorium di tempat tertinggi di Bagdad, di dekat pintu masuk Syammasiya,
untuk mengamati gerakan planet secara sistematis. Dengan pengamatan yang eksak,
yang pada saat bersamaan juga dilakukan di Jundisyapur, dan untuk kontrol tiga
tahun kemudian diulang di gunung Kasiyum dekat Damaskus, para astronom
bersama-sama menyusun apa yang disebut “Tabel Makmun yang telah diverifikasi”,
yang merupakan revisi total atas tabel astronomi Ptolomeus.
Dengan tabel astronomi yang teliti, orang bisa menentukan posisi suatu
tempat (lintang / bujur) dengan mengukur sudut tinggi bintang tertentu pada
waktu tertentu. Bintang apa pada waktu kapan akan memiliki koordinat langit di
mana akan bisa dibaca atau dihitung dari tabeliii. Dengan posisi yang teliti
ini, sebuah kapal bisa bernavigasi di lautan dengan akurat. Kalau dia kapal
dagang, dia bisa memperhitungkan kapan dia bisa mengisi kapalnya dengan air,
logistik dan barang dagangan di pelabuhan terdekat. Kalau dia kapal perang, dia
akan tahu di posisi mana dia harus mewaspadai patroli atau ranjau musuh.
Akhirnya sampai juga saatnya Muhammad bin Musa untuk boleh ikut dalam
kampanye pengukuran bumi. Dengan suatu regu astronom berangkatlah ia ke dataran
Sindsyar sebelah barat Mosul. Eratosthenes telah mendapatkan besar keliling
bumi untuk pertama kali dengan mengukur sudut sinar matahari.
Kini para astronom Al-Makmun mencoba metode yang lain. Berangkat dari
suatu titik, satu regu bejalan ke utara, satu regu lainnya ke selatan, hingga
mereka melihat bintang “keledai muda” – sebuah bintang kutub – terbit di sini,
dan terbenam di sana. Dari jarak antara kedua regu pengamat ini mereka bisa
menghitung panjang satu meridian, dan ini dengan ketelitian yang sangat tinggi.
Namun kemudian mulailah Muhammad bin Musa dan saudaranya membuat nama
dengan pengamatan dan hitungan yang mereka lakukan sendiri. Hasil penelitian
mereka tidak hanya membayang-bayangi pekerjaan Ptolomeus, namun juga astronom
Khalifah yang terkenal: Mawaruzi.
“Saya temukan”, demikian kata Al-Biruni seratus lima puluh tahun
kemudian, “bahwa di antara hasil penelitan-penelitan ini, orang terutama
mengambil hasil dari Banu Musa, dan akhirnya mengikutinya, karena mereka telah
menyerahkan segenap kekuatannya, untuk menemukan kebenaran; mereka menghabiskan
hampir seluruh waktunya untuk mengembangkan metode astronomi serta kecakapan
aplikasinya, dan kemudian banyak ilmuwan lain yang menyaksikan, bersedia
menjamin ketelitian pengamatan mereka”.
Sementara itu Banu Musa telah meninggalkan observatorium “si tua” Yahya
bin Abi Mansur. Muhammad bin Musa kini adalah seorang lelaki mandiri yang
perfeksionis. Dan soal uang – tiga bersaudara itu tak perlu risauiv. Mereka
kini memiliki observatorium sendiri, di dekat jembatan sungai Tigris di Bab
at-Taq. Di sini Muhammad menekuni pengamatan dan perhitungannya dengan penuh
dedikasi. Di sini ia mengarang karya-karya astronomi, tulisan pertama dalam
bahasa Arab tentang hukum transversal yang sangat penting dalam astronomi, dan
bersama saudaranya menulis tentang pengukuran pada permukaan datar dan sferis –
yang oleh Gerhard von Cremona dialihkan ke bahasa Latin sebagai “Buku dari tiga
bersaudara” – “Libertrium fratrum de geometrica”.
Tapi Muhammad tidak cuma seorang astronom dan matematikawan yang
produktif. Dia juga sibuk dengan filsafat, terutama logika, serta menulis karya
tentang “sebab-sebab pertama dunia”. Dia juga tertarik pada meteorologi dan
membuat pengamatan atmosfir. Dia juga bersemangat untuk membuat berbagai
konstruksi mekanik, yang merupakan batu loncatan bagi adiknya Ahmad, yang dalam
tulisannya tentang “timbangan cepat” menambah pengenalan dunia antik.
Ahmad adalah seorang insinyur yang piawai dan penemu jenius di keluarga.
Sebuah sumber Arab mengatakan: “Pada Ahmad terdapat bakat membuat benda-benda
yang baik saudaranya sendiri –Muhammad – maupun orang-orang lain sebelumnya
seperti Heron tidak pernah sampai, yang sibuk secara mendasar dengan teknik
peralatan otomatis yang penuh makna”. Bukunya yang sangat tebal tentang
“Konstruksi penuh makna” bahkan membuat orang Arab yang berbakat teknik pun
berdecak kagum.
Inovasinya “menyulap” komponen-komponen sederhana menjadi banyak sekali
peralatan yang baru dan kompleks untuk keperluan praktis, baik untuk tiap ibu
rumah tangga modern, atau tiap petani; dia juga membuat permainan teknis untuk
hiburan, yang hingga hari ini akan tetap membuat setiap anak-anak gembira.
- Ada sebuah
bejana yang bisa mengeluarkan sejumlah tertentu cairan, yang di antara
kedua keluaran ada waktu jeda v ;
- sebuah bejana
untuk mengukur berat jenis suatu cairan vi ;
- sebuah
mekanisme untuk mengisi bejana secara otomatis, segera setelah ia kosong;
- botol, yang
sesuai dengan kebutuhan bisa diisi dengan dua macam minuman, dan bisa
dituangkan terpisah atau bercampur vii;
- lampu yang
sumbunya bisa keluar sendiri, atau yang minyaknya bisa menetes sendiri
sehingga tidak bisa dimatikan oleh angin viii;
- sebuah alarm,
yang dipakai pada alat pengairan, yang akan memberikan tanda bila tinggi
air tertentu telah tercapai ix;
- bermacam-macam
air mancur, yang pancurannya selalu menimbulkan bentuk yang
berlain-lainan.
Tentu saja Ahmad juga menunjukkan keahliannya dalam dunia astronomi.
Dengan Muhammad ia membuat sebuah jam dari tembaga dengan ukuran raksasa.
Muhammad menghitung variasi terbit dan terbenam dari beberapa bintang
terpenting baik dalam sehari maupun setahun. Ahmad menuangkan hitungan yang
sangat rumit dari kakaknya ini pada sebuah alat yang bekerja dengan sangat
jenial, yang mengagumkan setiap orang. Dengan takjub dokter khalifah Ibn Rabban
at-Tabari berkomentar:
“Di depan observatorium di Samara aku lihat alat yang diciptakan
Muhammad dan Ahmad bin Musa, keduanya astronom dan insinyur. Alat itu berbentuk
sebuah bola dan di atasnya semua gambar-gambar bintang. Alat itu digerakkan
oleh tenaga air. Jika di langit yang sesungguhnya suatu bintang tenggelam, maka
pada saat yang sama hilang pulalah gambarnya dialat itu, yakni terbenam di
bawah suatu garis lingkaran yang menggambarkan horizon. Dan bila di langit
bintang itu terbit kembali, maka demikain pula di alat itu, gambarnya muncul
kembali di atas garis horizon” x
“Saudara ketiga yaitu al-Hasan”, cerita sumber Arab, “adalah besar dalam
geometri. Dia sangat berbakat, dan tak seorangpun mendekati kemampuannya
walaupun sedikit. Ingatannya sangat kuat, dan ia memiliki kemampuan abstraksi
yang luar biasa, sehingga mampu menjawab berbagai soal, yang tak seorangpun
sebelumnya bisa memecahkannya. Kadang ia begitu tenggelam dalam berpikir,
sehingga dalam suatu konferensi dia bisa tidak mendengar sedikitpun”. Sementara
itu bila ia sedang sibuk dengan suatu soal, terjadilah -seperti ceritanya
sendiri – “aku lihat dunia di depan mataku tiba-tiba menjadi gelap, dan aku
merasa seperti dalam mimpi”.
Namun tidak cuma dari risetnya, Banu Musa menjadi terkenal, melainkan
juga dari jasa-jasanya bagi ilmu pengetahuan. Mereka masih relatif muda ketika
muncul sebagai sponsor dunia ilmu. Dengan biaya sendiri, mereka mengirim utusan
ke kekaisaran Byzantium, untuk mencari tulisan-tulisan tentang filsafat,
astronomi, matematika dan kedokteran. Dengan biaya tinggi, mereka membeli karya-karya
Yunani dan menaruhnya di rumahnya di Bab At-Taq di Bagdad. Di sana, dan di
areal yang didapat sebagai hadiah dari Al-Mutawakkilxi di
Samarra, mereka mempekerjakan satu tim penerjemah yang berasal dari berbagai
negeri. Al-Makmun sendiri yang telah memerintahkan untuk mengumpulkan buku-buku
kuno dan mendirikan sekolah penerjemah xii.
Namun lebih penting dari kemajuan dan penemuan dalam bidang pengamatan
bintang, bahkan lebih penting dari penemuan fisika dan teknik – dan sekaligus
syarat untuk prestasi di kedua bidang ini – adalah pendidikan dari “alat-alat
berfikir” yang mereka ciptakan, serta secara tak langsung mereka “siapkan”
untuk dunia Barat.
Bangsa Arab – maksudnya rakyat khilafah – saat itu adalah tokoh-tokoh
matematika. Berlawanan dengan bangsa Romawi yang dalam bidang ini hanya membawa
hasil-hasil yang sedikit, dan itupun kadang “curian”. Ketika bakat matematika
yang tinggi dari bangsa Yunani lebih didominasi oleh geometri, sehingga
aljabarpun mereka bungkus dengan geometri, sedang di sisi lain bangsa India
murni “tukang hitung” (aritmetikawan), maka pada bangsa Arab kedua hal ini
telah berhasil dikawinkan. Suatu bakat yang dimiliki oleh Hassan bin Musa.
Dengan kemampuan ini bangsa Arab membuka banyak cabang pengetahuan baru
dan mengembangkannya hingga tingkat kematangan yang tidak pernah dicapai baik
oleh bangsa Yunani maupun India. Karena itu “bukan bangsa Yunani, namun bangsa
Arablah guru-guru matematika Rennaisance”. Dan di sini angka India sangat
membantu.
Jelas, bangsa Arab amat beruntung mengenal angka India; namun juga
beruntung, bahwa mereka memahami untuk menggunakannya, dan tak cuma sekedar
melihat sebagai angka asing yang menarik. Di Alexandria dan Syria, orang sudah
lebih dulu mengenal angka India, namun tanpa membuatnya sesuatu yang berarti.
Di tangan rakyat Khilafahlah angka ini dalam waktu singkat menjadi alat yang
sangat bermanfaat.
Setiap konstruksi, setiap hitungan astronomi atau fisika yang rumit,
sangat tergantung pada adanya sistem bilangan yang sempurna. Dan bangsa Arab
terbukti sangat bergairah dalam soal hitung menghitung. Banyak desain teknik
yang tak pernah direalisasi, karena niatnya memang tidak untuk dibuat,
melainkan sekedar untuk bermain hitungan. “Kegilaan” mereka pada disiplin ilmu
terindah, yakni berhitung ini, membawa mereka ke soal-soal aritmetika yang bagi
matematikawan besar zaman itu dianggap tidak bisa dipecahkan.
Aneh. Karena kata “aritmetika” adalah kata Yunani yang berarti “seni
berbuat sesuatu dengan bilangan”. Namun bagi bangsa Yunani yang lebih berbakat
spekulasi, hal itu terasa luks. Sebagai “putera mistik yang telah terdidik”,
aritmetika Yunani menyibukkan diri dengan teori bilangan, symbolik, deret dan
hubungan antar bilangan – namun tidak dengan hitungan yang bisa dipakai orang
di pasar!xiii Aritmetika praktis seperti yang kita pahami
sekarang, yang merupakan seni berhitung yang sesungguhnya, justru dimasukkan ke
disiplin ilmu yang kurang diminati, yaitu logistik (tentang menata barang
konsumsi).
Namun justru ini medan utama bangsa India. Mereka banyak menghasilkan
karya orisinal dan bermutu. Tapi seperti apa? Apa yang bisa dipakai dari situ?
Mereka tak hanya menuangkan agama dan filsafatnya dalam bentuk puisi. Bangsa
lain, bahkan bangsa Arab juga seperti itu. Namun bangsa India juga menuliskan
ilmu astronomi dan matematika dalam bahasa misterius yang hanya bisa dipahami
kalangan Brahmana sajaxiv.
Baru bangsa Arab –sekali lagi ini adalah rakyat Khilafah-, yang berpikir
cerah, praktis dan presisi, mengolah semua itu ke dunia yang jelas. Barulah
lewat Al-Khawarizmi aritmetika dibuka baik untuk keperluan sehari-hari maupun
dunia ilmu serta dikembangkan secara sistematis. Dengan tambahan dari
matematikawan muslim selama beberapa abad, berkembanglah ia menjadi landasan
aritmetika, dan nama Al-Khawarizmi diabadikan untuk menyebut “sekumpulan
perintah yang logis dan runtut” – “algoritma” – yang tanpa itu dunia komputer
atau informatik tak akan bisa dibayangkan xv.
Terutama aljabar, yang juga untuk pertama kalinya disusun Al-Khawarizmi
ke dalam suatu sistem, bangsa Arab menjadikannya ilmu pasti. Dari aljabar Abu
Kamil, Al-Biruni, Ibnu Sina dan Al-Karaji, Leonardo de Pisa menggali
pengetahuannya tentang persamaan kuadratis dan kubis, yang lalu ditulis di
bukunya Liber abaci.
Bangsa Arab juga menemukan hitungan dengan angka pecahan desimal
(hitungan “di belakang koma”). Adalah astronom Al-Kaji yang pertama kali menuliskan
angka 2 10/125 sebagai 2,08 – suatu prestasi, yang tanpa itu tentu dewasa ini
baik seorang penjual susu maupun ilmuwan akan mengalami kesulitan serius, dan
bahkan hitung logaritmik pun akan menjadi mustahil.
Dan hingga saat ini wajah aljabar kita ditandai oleh suatu ciri Arab:
huruf x untuk tercari dalam suatu persamaan. Huruf ini, yang sering diikuti y
untuk tercari kedua dan z untuk ketiga – murni urut alfabet, telah masuk ke
khasanah Barat secara tersembunyi, sehingga sulit dipercaya bahwa ia berasal
dari Arab, apalagi di alfabet Arab tak ada huruf x. Sesungguhnyalah, “benda”
yang dicari itu dalam bahasa Arab disebut “syai”, atau disingkat “sy” (huruf
syin). Bunyi huruf ini dalam bahasa Spanyol kunoxvi ditulis dengan huruf x.
Maka belajarlah kita, paling lambat di SMP, dengan “benda” Arab yang diberi
pakaian Spanyol.
Tujuh ratus tahun sebelum orang Inggris Newton dan orang Jerman Leibniz,
dua ilmuwan sudah memikirkan hitung diferensial. Mereka adalah seorang dokter
dan filosof Ibnu Sina (980-1037) alias Avicenna, serta teolog Al-Ghazali
(1053-1111) alias Algazel. Ibnu Sina yang pada usia sepuluh belajar aritmetika
India pada seorang pedagang arang, tumbuh menjadi matematikawan dan astronom
yang sangat produktif dan kreatif. Dia memperkaya seluruh cabang ilmu
pengetahuan, “yang sebelumnya tak ada orang yang sampai ke sana”. Di antaranya
dia mengungkapkan adanya problem besaran yang tak terhingga kecil, baik dalam
agama maupun fisika dan matematika, suatu hal yang pada abad-17 mengantarkan
Newton dan Leibniz pada infinitesimal, dan kemudian membentuk ilmu Calculus.
Al-Farabi (870-950), yang sering dijuluki “guru kedua setelah
Aristoteles” adalah filosof dan matematikawan terkemuka serta musisi jempolan.
Dia terkenal akan ide-idenya serta debatnya yang selalu berhasil dengan para
ilmuwan di Damaskus, yang dengan ini bisa menghibur para pemuka masyarakatxvii.
Dia juga terkenal akan kuliah-kuliah musiknya tentang Canun, suatu jenis Harfa
yang ia temukan, yang dengan itu publikumnya yang panas bisa ditenangkan, dan
pendengar yang capai bisa disegarkan. Kesibukannya dengan teori musik, akord
dan interval membawanya ke ide logaritmaxviii, yang ia tulis dalam bukunya
“Elemen-elemen seni musik”.
Demikianlah cuplikan buku Hunke yang secara objektif mengungkap kembali
berita-berita dari orang Barat di masa keemasan Islam.
Berita-berita ini bisa di-uji-silang dengan benda-benda sejarah yang
disimpan di museum, atau juga dengan bangunan-bangunan fisik, yang sampai hari
ini masih bisa disaksikan. Di berbagai museum besar dunia Islam, terutama di
Cairo, Damaskus, Bagdad dan Istanbul, benda-benda seperti dokumen penting
negara, senjata, hingga alat-alat ilmu pengetahuan masih bisa disaksikan. Hanya
saja untuk Bagdad, serbuan tentara Amerika ke Iraq baru-baru ini telah ikut
memusnahkan bukti historis yang tak ternilai ini. Sebagian benda sejarah ini
juga barangkali akan diangkut ke museum-museum di Barat, seperti di Leiden
(Belanda), Paris atau New York, sebagaimana juga sudah berkali-kali terjadi
selama ini.
Dokumentasi tertulis
Dokumen tertulis ini meliputi surat-surat keputusan pemerintah (yang
juga disebut “Lembaran Negara”), surat-menyurat dengan pemerintah asing,
dokumen pertanahan – termasuk peta, manuskrip ilmiah, hingga risalah di suatu
sidang pengadilan.
Dokumen ini tersimpan di museum-museum atau bekas istana pemerintahan-pemerintahan
Islam di seluruh dunia. Bahkan di sebagian besar istana kesultanan-kesultanan
di Indonesiapun tersimpan dokumen serupa, misalnya di Aceh, Banten, Cirebon,
Makassar, hingga Ternate. Namun ada dua kendala untuk memahami dokumen
tersebut: (1) keberadaan dokumen ini sebagai bukti sejarah sering tidak
disadari, sehingga dokumen tidak terawat baik. (2) dokumen itu sering ditulis
dalam bahasa dan alfabet lokal, yang saat ini sudah jarang dipakai. Sebagai
contoh, dokumen kesultanan Mataram ditulis dalam bahasa Jawa kuno dan berhuruf
Jawa atau Arab Pegon (Arab Melayu). Sedang dokumen di Istanbul, meski dalam
huruf Arab, namun bahasa yang dipakai adalah bahasa campuran Arab, Persi dan
Turki.
Sebagian dokumen itu sudah ditransliterasi atau diterjemahkan. Sebagian
besar justru oleh para peneliti Barat. Sebagian hasilnya dibuka untuk publik di
museum atau diterbitkan sebagai buku.
Di Aya Sofia, museum di Istanbul yang sebelumnya masjid, dan sebelumnya
lagi katedral, dipamerkan surat-surat khalifah (“Usmans Fermans”) yang
menunjukkan kehebatan Khilafah Utsmaniyah dalam memberi jaminan, perlindungan
dan kemakmuran kepada warganya maupun kepada orang asing pencari suaka, tanpa
pandang agama mereka.
Yang tertua adalah sertifikat tanah yang diberikan tahun 925 H (1519 M)
kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman Inquisisi Spanyol pasca
jatuhnya pemerintahan Islam Andalusia.
Kemudian surat ucapan terima kasih dari Pemerintah Amerika Serikat atas
bantuan pangan yang dikirim Khalifah ke Amerika Serikat yang sedang dilanda
kelaparan (pasca perang dengan Inggris), abad 18.
Lalu surat jaminan perlindungan kepada Raja Swedia yang diusir tentara
Rusia dan mencari eksil ke Khalifah, 30 Jumadil Awal 1121 H (7 Agustus 1709).
Surat tertanggal 13 Rabiul Akhir 1282 H (5 September 1865 M) yang
memberi ijin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang telah beremigrasi ke
Rusia namun ingin kembali ke wilayah Khilafah, karena di Rusia mereka justru
tidak sejahtera.
Yang paling mutakhir adalah peraturan yang bebas cukai barang bawaan
orang-orang Rusia yang mencari eksil ke wilayah Utsmaniy pasca revolusi
Bolschewik. Tertanggal 25 Desember 1920.
Di Aya Sofia dipamerkan sekitar 100 sampel surat-surat yang menakjubkan,
baik yang ditujukan kepada Khalifah maupun yang dikeluarkan oleh Khalifah.
Sayangnya, yang ditonjolkan adalah bahwa semua itu seakan-akan merupakan bukti
kehebatan bangsa Turki di masa lalu, bukan terpancar dari aqidah dan syari’ah
Islam atau Daulah Khilafah.
Salah satu “Usmans Fermans”
Di Ankara, ibu kota Turki sekarang, terdapat Pusat Arsip Pertanahan.
Pada 1416 Sultan Muhammad I (kakek al Fatih) menyatakan bahwa tanah-tanah yang
didapatkan melalui jihad adalah milik umum (dikelola negara), sedang hak
gunanya pada pemilik sebelumnya. Maka beliau lalu melakukan sensus pertanahan
(land census). Registrasi ini berjalan bagus hingga abad 17.
Jumlah dokumen di pusat arsip ini ada sekitar 1500 ton, meliputi wilayah
dari Afghanistan sampai Maroko, dari Semenanjung Krim di Rusia sampai Sudan.
Ini adalah bukti otentik, bahwa kekuasaan sah Daulah Khilafah Utsmaniyah adalah
seluas itu.
Ada cerita bahwa setelah Republik Turki berpisah dari negeri-negeri yang
semula dikuasainya, ada keluarga Turki yang mengklaim tanah warisan yang berada
di Mesir. Dari Pusat Arsip ini dia dapatkan microfilm yang ternyata diterima di
Pengadilan Mesir sampai mendapatkan ganti rugi beberapa juta US-Dollar.
Bukti Arkeologis Daulah Khilafah
Kemajuan peradaban Islam juga tampak dari berbagai bangunan kuno yang
saat ini masih bisa disaksikan di berbagai penjuru dunia.
Cordoba sebagai ibu kota Khilafah Umayah di Spanyol, dibangun pada tahun
750 M, dan menjadi pusat peradaban hingga 1258 M. Kota tua Cordoba masih bisa kita
saksikan sekarang. Sejak berdirinya, kota ini memiliki drainase yang bagus,
sehingga jalan-jalan tampak bersih dan asri. Ini adalah suatu teknologi
sanitasi – yang Jakarta hari ini perlu iri.
Masjid Jami’ Cordoba – yang saat ini hanya tinggal sebagai museum,
memiliki arsitektur yang sangat indah, yang sekaligus memiliki fungsi akustik,
sehingga meskipun saat itu belum ada alat pengeras suara elektronik, namun
suara khatib bisa terdengar jelas hingga pojok-pojok masjid yang cukup besar.
Tata ruang masjid juga ditambah dengan pola ventilasi yang luar biasa, yang
menjamin cukupnya cahaya dan segaranya udara.
Interior masjid Cordoba
Tidak jauh dari masjid terdapat taman Alcazar yang sangat indah.
Mengingat Andalusia dikelilingi oleh tanah-tanah yang gersang, maka keberadaan
taman itu membuktikan sistem irigasi yang baik. Irigasi memang salah satu
teknologi yang diwariskan Islam.
Di banyak negeri Timur Tengah, masih dijumpai kincir untuk menaikkan air
yang dibangun berabad-abad yang silam – dan kincir ini masih berfungsi! Di
beberapa kota gurun pasir juga masih dijumpai sistem distribusi air bawah
tanah, yang disebut Qanat.
Dari sekian banyak bangunan fisik berusia tua di Istanbul, yang paling
menarik tentu saja adalah masjid-masjid yang indah. Ikon Istanbul adalah masjid
Sultan Ahmet, yang berhadapan dengan Aya Sofia. Masjid ini dibangun abad 16 dan
satu-satunya masjid yang punya enam minaret.
Ketahanan bangunan ini terhadap gempa telah teruji. Harus diingat bahwa
Turki adalah wilayah pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu Eropa, Asia dan
Afrika-Mediteran. Wilayah ini sangat sering diguncang gempa, sampai data
pertanahan di sana harus terus menerus diupdate karena titik-titiknya akan
selalu bergeser oleh dinamika bumi. Namun masjid-masjid di Turki yang dibangun
berabad-abad yang lalu terbukti bertahan hingga kini.
Bangunan bersejarah semacam ini berserakan di seluruh dunia di mana
Islam pernah berkuasa. Di Cina juga terdapat banyak masjid berusia minimal 1000
tahun. Di India – meski sejak masa penjajahan Inggris didominasi oleh warga
beragama Hindu, namun sebagian besar bangunannya berarsitektur Islam. Termasuk
Tajmahal, sebuah bangunan mirip masjid yang sangat indah, padahal sebenarnya
hanya makam.
Beberapa bangunan tua masih memegang fungsi seperti saat didirikan dulu,
sekalipun mengalami renovasi berkali-kali. Contohnya adalah berbagai masjid dan
universitas di Mesir, Damaskus atau Istanbul. Universitas Al-Azhar di Mesir
faktanya adalah universitas tertua di dunia!
Bukti-bukti pengaturan masyarakat oleh Daulah Khilafah Islam
Setelah melihat bukti-bukti historis di muka, mulai timbul pertanyaan,
sejauh mana masyarakat yang melahirkannya? Dengan kata lain bagaimana Daulah
Khilafah Islam mengatur masyarakat sehingga bisa berprestasi seperti itu.
Sering ada spekulasi bahwa kemunduran dunia riset Islam dimulai ketika
iklim kebebasan berpikir – yang sering dianggap direpresentasikan kaum
mu’tazilah – berakhir, dan digantikan oleh iklim fiqh yang skripturalis dan
kaku. Teori ini terbukti bertentangan dengan fakta bahwa munculnya ilmu-ilmu
fiqh dan ilmu-ilmu sains dan teknologi berjalan beriringanxix.
Bahkan ketika ilmu dasar ummat musim mulai kendur, teknologi mereka masih cukup
tinggi untuk bertahan jauh lebih lamaxx.
Hunkexxi dan Al-Faruqixxii dengan baik
melukiskan latar belakang masyarakat di khilafah Islam sehingga keberhasilan
pengembangan teknologi Islam terjadi, dan ini bisa diklasifikasikan menjadi dua
hal.
Pertama adalah
paradigma yang berkembang di masyarakat Islam, yang akibat faktor teologis
menjadikan ilmu sebagai “saudara kembar” dari iman, menuntut ilmu sebagai
ibadah, salah satu jalan mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ahli ilmu sebagai
pewaris para nabi, sementara percaya tahayul adalah sebagian dari sirik.
Paradigma ini menggantikan paradigma jahiliyah, atau juga paradigma di Romawi,
Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sesuatu privilese kasta tertentu
dan rahasia bagi awam. Sebaliknya, Hunke menyebut “satu bangsa pergi sekolah”,
untuk menggambarkan bahwa paradigma ini begitu revolusioner sehingga terjadilah
kebangkitan ilmu dan teknologi. Para konglomeratpun menjadi sangat antusias dan
bangga bila berbuat sesuatu untuk peningkatan taraf ilmu pengetahuan atau
pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan umum,
observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji pakarnya.
Kedua adalah
peran negara yang sangat positif dalam menyediakan stimulus-stimulus positif
bagi perkembangan ilmu. Walaupun kondisi politik bisa berubah-ubah, namun sikap
para penguasa muslim di masa lalu terhadap peradaban dan ilmu pengetahuan masih
jauh lebih positif dibanding penguasa muslim di dunia sekarang ini. Sekolah
yang disediakan negara ada di mana-mana dan bisa diakses masyarakat dengan
gratis. Sekolah ini mengajarkan ilmu pengetahuan tanpa dikotomi antara ilmu
agama dan teknologi yang bebas nilai.
Rasulullah pernah mengatakan “Antum a’lamu umuri dunyaakum” (Kalian
lebih tahu urusan dunia kalian) – dan hadits ini jelas berkaitan dengan masalah
teknologi – waktu itu teknologi penyerbukan kurma. Ini adalah dasar bahwa
teknologi bersifat bebas nilai. Namun demikian, dalam pencarian ilmu, Islam
memberikan sejumlah motivasi maupun guideline.
Motivasi pencarian ilmu dimulai dari hadits-hadits seperti “Mencari ilmu
itu hukumnya fardhu atas muslim laki-laki dan muslim perempuan”, “Carilah ilmu
dari buaian sampai liang lahad”, “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri
Cina”, “Orang yang belajar dan mendapatkan ilmu sama pahalanya dengan sholat
sunat semalam suntuk”, dsbxxiii. Sedang guideline bisa dibagi dalam
tiga kelompok sesuai pembagian dalam filsafat ilmuxxiv, yaitu dalam kelompok
ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi menyangkut masalah mengapa suatu hal perlu dipelajari atau
diteliti. Qur’an memuat cukup banyak ayat-ayat yang merangsang pembacanya untuk
menyelidiki alam, seperti “Apakah tidak kalian perhatikan, bagaimana unta
diciptakan, atau langit ditinggikan, …” (al-Ghasiyah 17-18). Maka tidak heran
bahwa di masa al-Makmun, para pelajar ilmu tafsir akan menyandingkan buku
astronomi Almagest karya Ptolomeus (astronom Mesir kuno) sebagai “syarah” dari
surat al-Ghasiyah tersebut.
Kaidah ushul “Ma laa yatiimul waajib illaa bihi, fahuwa wajib” (Apa yang
mutlak diperlukan untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya wajib pula)
juga memiliki peran yang besar. Maka ketika kaum muslimin melihat bahwa untuk
menyempurnakan jihad melawan adikuasa Romawi memerlukan angkatan laut yang
kuat, maka mereka – berpacu dengan waktu – mempelajari teknik perkapalan,
navigasi dengan astronomi maupun kompas, mesiu dsb. Dan bila untuk mempelajari
ini mereka harus ke Cina yang waktu itu lebih dulu mengenal kompas atau mesiu,
merekapun pergi ke sana, sekalipun menempuh perjalanan yang berat, dan harus
mempelajari sejumlah bahasa asing.
Dengan ontologi syariah ini, kaum muslim di masa lalu berhasil
mendudukkan skala prioritas pembelajaran dan penelitian secara tepat, sesuai
dengan ahkamul khomsah (hukum yang lima: wajib-sunnah-mubah-makruh-haram) dari
perbuatannyaxxv.
Epistemologi menyangkut metode bagaimana suatu ilmu dipelajari.
Epistemologi Islam mengajarkan bahwa suatu ilmu harus dipelajari tanpa
melanggar satu hukum syara’pun. Maka beberapa jenis eksperimen akan dilarang,
karena bertentangan dengan syara’, misalnya cloning manusia. Di sisi lain, ilmu
dipelajari dengan mempraktekkannya. Oleh karena itu, ilmu seperti sihir hitam
(blackmagic) menjadi haram dipelajari, karena epistemologinya adalah dipelajari
sambil dipraktekkan. Maka bagaimana mungkin mempelajari suatu ilmu yang
praktikumnya saja akan berarti kemaksiatan.
Demikian juga dengan meramal nasib dengan melihat posisi bintang atau
astrologi. Nabi sendiri sudah menggantikan posisi bintang-bintang yang
didewakan dengan Tuhan Yang Esa, Penguasa alam semesta dan Pencipta langit dan
bumi. “Haramlah sekarang untuk percaya pada pengaruh bintang atas nasib serta
pada pemujaannya”xxvi.
Namun perlu untuk mempelajari ilmu bintang. Allah sendiri telah
memerintahkan untuk mengamati langitxxvii. Dengan nama Allah maka gerakan
bintang di langit dipelajari. Dengan nama Allah pulalah setiap karya ilmiah
dimulaixxviii. Dan itulah, apa yang ummat Islam mendahului umat lain
di dunia Barat: tingginya level pendidikan ilmiahnya, yang melindunginya dari
jebakan-jebakan mistisme. Karena itu seni pentakwilan bintang atas nasib bagi
bangsa Arab yang realistis sama sekali tidak memiliki kekuatan magis, seperti
pengaruh buku-buku astrologi di dunia Barat. “Astrologi Arab” terutama adalah
“anak manja” budaya Persia. Merekalah yang membawa seni ini ke dunia Islam.
Di sisi lain, ilmu-ilmu seperti kedokteran, fisika, namun juga ilmu
sosiologi atau hukum (fiqh) menjadi tumbuh pesat karena setiap yang
mempelajarinya punya gambaran yang jelas bagaimana nanti menggunakan ilmu itu.
Berbeda dengan sekarang ketika banyak mahasiswa yang ada di “menara gading”,
dan ketika turun ke masyarakat ternyata tidak mampu harus mulai dari mana dalam
menggunakan ilmunya.
Sedang aksiologi adalah menyangkut bagaimana suatu ilmu diterapkan. Ilmu
atau teknologi adalah netral, sedang akibat penggunaannya tergantung pada
peradaban (hadharah) manusia atau masyarakat yang menggunakannya. Banyak hasil
riset yang walaupun dibungkus dengan suatu metode statistik, namun dipakai
hanya untuk membenarkan suatu model yang bias secara ideologis ataupun
kepentingan tertentuxxix.
Pada masyarakat muslim penggunaan teknologi akan dibatasi oleh hukum
syara’. Teknologi hanya akan digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan
memperbudaknya. Teknologi digunakan untuk menjadikan Islam rahmat seluruh alam,
bukan untuk menjajah negeri-negeri lain. Dan ini terbukti! Kalau orang bicara
zaman penjajahan atau kolonialisme, mereka akan menunjuk Barat sebagai
pelakunya, dan tidak pernah Negara Khilafah. Oleh karena itu kebuntuan untuk
mencapai kemajuan pada negeri-negeri miskinxxx – seperti yang
terjadi dewasa ini di Afrika – akan bisa didobrak dengan aksiologi syariah.
________________
i Didin Saefudin: Zaman Keemasan Islam. Rekonstruksi Sejarah Imperium
Dinasi Abbasiyah. Grasindo, 2002.
iiIni menunjukkan bahwa lingkungan (mileu) yang kondusif akan merangsang
pertumbuhan anak-anak berbakat. Dewasa ini, distribusi anak-anak berbakat di
mana-mana sebenarnya merata, namun mileu yang cocok untuk itu lebih banyak
berada di Amerika, Eropa atau Jepang.
iii Di zaman modern, tabel astronomi ini dibuat bersama-sama oleh hampir
seluruh observatorium di dunia, dan dipublikasikan secara sentral, misalnya The
Astronomical Almanach yang dikeluarkan oleh International Astronomical Union
(IAU). Pada masa lampau, ketika belum ada radar, radio dan navigasi satelit,
tabel astronomi dan chronometer (jam teliti) adalah satu-satunya alat navigasi
bagi pelaut. Sekarang ini navigasi dilakukan dengan GPS, namun satelit GPS
sendiri bernavigasi secara astronomis dengan alat pelacak bintang
(star-tracker).
iv Mungkin mereka mendapatkan banyak donasi riset dari kaum aghniya di
Daulah Khilafah, seperti halnya dewasa ini di Amerika dari Ford Foundation atau
Rockefeler.
v Mungkin seperti alat pengisi botol otomatis pada ban berjalan.
vi Bejana ini berada di suatu alat penimbang, sehingga begitu cairan
dituang pada bejana dengan volume tetap, segera diketahui berat jenisnya, yang
merupakan berat dibagi volume.
vii Botol dengan dua ruang di dalamnya.
viii Ini konsep dasar lampu petromax.
ix Konsep dasar pelampung pada bak mandi yang sekaligus klep untuk
kerannya. Bila air penuh, keran mati sendiri.
x Alat seperti ini saat ini menjadi standar hampir pada setiap observatorium.
Dengan teknik ini, maka arah teleskop bisa dibuat mengikuti gerakan bintang
yang sedang diamati.
xi Al Mutawakkil berkuasa antara tahun 847-861 M
xii Tradisi ini di abad modern justru lebih banyak dilakukan oleh
Belanda (untuk buku-buku kuno Indonesia) atau Amerika Serikat (untuk buku-buku
kuno dari seluruh dunia). Banyak peneliti Indonesia kuno yang justru
mendapatkan manuskrip kuno semacam kitab dari zaman Majapahit di museum di
Belanda.
xiii Di abad modern, beberapa jenis deret bilangan, seperti deret
Fibbonacci, deret Taylor dsb., banyak berguna dalam komputasi numerik
fungsi-fungsi trigonometri atau mencari nilai logaritma di komputer, tapi jelas
bukan untuk aktivitas sehari-hari.
xiv Ungkapan Sansekerta (India) yang dijumpai di Indonesia misalnya
„Turonggo Tinitihan Sesekaring Bawono“, yang artinya adalah angka 1979.
xv Dari sebuah sumber diriwayatkan bahwa Al-Khawarizmi mendapat ide
untuk menuliskan hitungan aritmetika dalam persamaan aljabar ketika ia harus
menghitung masalah pembagian waris (al-Faraidl) menurut hukum Islam.
xvi Karena pertama kali dipelajari orang Barat di Andalusia.
xvii Mungkin semacam “talk-show” di zaman modern.
xviii Perbandingan frequensi nada berurutan = (ln2)/12
xixRachmat Taufiq Hidayat dkk: Almanak Alam Islami. Jakarta, Dunia
Pustaka Jaya, 2000.
xx Ahmad Y. al-Hassan & Donald R. Hill: Islamic Technology: an
illustrated History. Unesco, 1986. (Terjemahan oleh Yulian Liputo: Teknologi
dalam Sejarah Islam. Bandung, Mizan, 1993).
xxi Sigrid Hunke: Allah’s Sonne ueber dem Abendland. Frankfurt, Fischer,
1990.
xxii Roji al-Faruqi: Atlas Budaya Islam.
xxiiiYusuf Qardhawi: Metode & Etika Pengembangan Ilmu Perspektif
Sunnah. Bandung, Rosda, 1991.
xxiv Julius Suriasumantri: Ilmu dalam Perspektif. Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, 1983.
xxv Yusuf Qardhawi: Fikih Prioritas, Sebuah Kajian Baru. Jakarta,
Robbani Press, 1996.
xxvi Bahkan ketika putra Nabi wafat, dan saat itu bertepatan dengan
adanya gerhana, lalu kaum muslim menghubung-hubungkan peristiwa gerhana itu
dengan kematian anak seorang Nabi, Nabi sendiri justru menyatakan bahwa gerhana
terjadi bukan karena kelahiran atau kematian seseorang.
xxvii QS. Al-Ghasiyah [88]:17-18
xxviii Di ummat Islam sayang traidisi ini sudah lama tidak diteruskan.
Basmalah cuma dituliskan pada awal tulisan agama, dan bukan pada setiap awal
karya ilmiah.
xxix Darell Huff: How to Lie with Statistics. New York, W.W. Norton,
1960
xxx Franz Nuscheler: Lern- und Arbeitsbuch Entwicklungspolitik. Bonn,
Verlag Neue Gesselschaft,1987.
0 comments:
Post a Comment